Havana88detik – Suvenir berbentuk penis dari kayu digantung di toko suvenir di Denpasar, Bali. Mayoritas wisatawan yang datang ke toko sering tertawa atau bingung saat melihat oleh-oleh.
Lolok, oleh-oleh itu biasa disapa masyarakat Bali. Seperti dilansir Detik.com, kata lolok berasal dari sebuah benda bersejarah yang disebut lingga.
Dalam agama Hindu, lingga merupakan atribut terkuat dewa tertinggi atau sering dikaitkan dengan Dewa Siwa.
Menurut situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lingga merupakan pilar cahaya, lambang benih segala sesuatu di alam semesta. Lingga juga merupakan simbol dari organ maskulin.
Penggambaran lingga juga ditemukan di beberapa candi Hindu pada zaman Jawa Tengah kuno. Beberapa dijelaskan secara simbolis dan halus. Namun, beberapa di antaranya digambarkan sebagai ikonik dan vulgar.
Dengan begitu, wajar jika salah satu oleh-oleh khas Bali berupa gantungan kunci, pembuka botol, atau asbak berbentuk penis atau lingga. Sejak dulu, Bali kental dengan ajaran Hindu.
Namun Dosen Antropologi Universitas Gadjah Mada, Pande Made Kutanegara menilai kemunculan suvenir tersebut bukan hanya karena Bali kental dengan Hindu, tetapi juga karena lolok bisa diterima oleh masyarakat luas.
“Lolok adalah karya bebas seniman. Karya bisa menjadi bebas bila budaya masyarakat sekitar memberi ruang, seperti yang terjadi di Bali dulu hingga sekarang,” kata Pande kepada CNNIndonesia.com melalui telepon beberapa waktu lalu.
Pande sendiri mengalami budaya Bali terbuka dengan konsep lingga dalam berbagai bentuk. Bahkan pada konsep yang paling dasar yaitu seks, masyarakat Bali tidak menganggapnya sebagai porno untuk kepuasan semata, melainkan reproduksi.
Ia mencontohkan pengalamannya saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1980 di Bali. Saat itu, Pande dan teman-teman prianya sering mandi di sungai yang melintas dan bersebelahan dengan pemandian wanita.
“Tidak pernah ada rasa birahi, meski melihat bagian tubuh dan wanita mandi, dan mereka juga normal bahkan kadang lewat kami menyambut kami,” ujar Pande mengenang masa remajanya di Bali.
Menurut Pande, pemikiran yang terbuka dengan konsep lingga, termasuk seks, berada di alam bawah sadar. Keterbukaan ini dapat tertanam dan dibentuk karena budaya budaya sekitarnya.
“Ketika saya kembali ke Bali setelah enam bulan belajar di Yogyakarta, saya melihat bahwa itu pornografi dan saya mulai melirik. Saya tidak tahu mengapa pemikiran saya berubah dan saya benar-benar marah pada diri saya sendiri,” kata Pande.
Belakangan, Pande menyadari bahwa pemikirannya secara tidak sadar telah berubah karena ia berada dalam budaya yang berbeda dengan Bali selama beberapa bulan. Menurutnya, perubahan ini wajar dan bisa terjadi pada semua orang.
Lebih lanjut Pande menyayangkan ada pihak yang menganggap lolok sebagai souvenir pornografi sehingga konotasinya menjadi negatif. Menurutnya, masyarakat yang datang ke Bali harus bisa memahami lolok dari konteks budaya.
“Jika melihat wisatawan, mereka datang dengan perspektif budayanya sendiri untuk melihat budaya di tempat yang mereka kunjungi. Saat itulah penilaian negatif terhadap perilaku masyarakat lokal bisa muncul,” kata Pande.
Pande juga berharap Indonesia bisa banyak mengadakan pertemuan antarbudaya agar bisa memahami pemikiran lain. Dengan begitu, orang-orang dari budaya yang berbeda dapat memahami dan melengkapi satu sama lain, baik dari hal-hal sepele hingga yang terbesar.
Jangankan turis mancanegara, budaya Indonesia itu beda antar daerah. Apalagi oleh-oleh lolok, beda tempat bisa makanan pedas dan pendatang yang biasa makan manis tidak suka atau malah marah-marah, ”ujarnya.